Sabtu, 21 November 2009

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA BESAR ( AS DAN CINA )

POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA BESAR

( AS DAN CINA )

Pada tahun 1945 saat perang dunia kedua berlangsung, Jepang menyerang pelabuhan militer milik Amerka Serikat Pearl Harbour. Seperti macan tidur yang dibangunkan, Amerika membalas serangan tersebut dengan menjatuhkan bom atom di dua kota besar milik Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Indonesia yang saat itu sedang di jajah oleh Jepang mengalami keadaan status quo yang kemudian digunakan oleh Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Apakah bisa dikatakan bahwa Indonesia merdeka karena Amerika ??

Bila kita melihat pada alur sejarah saat Belanda berkuasa di Indonesia, para petugas korps diplomati AS di Jawa dan Sumatra mengeluarkan kritik tajam atas pemerintah kolonial Belanda yang melanggar kaidah-kaidah keadilan hukum ketika menangani kaum nasionalis Indonesia. Namun, perubahan sikap ini tidak terlalu drastis karena saat itu pemerintah AS masih memperhitungkan untung rugi jika memberikan dukungan pada Indonesia atau Belanda

Perubahan baru benar-benar tampak pada 1948. Pada masa itu, Belanda yang masih tidak ingin kehilangan Indonesia (jajahannya yang telah memberikan keuntungan begitu besar bagi negara bawah laut itu) berusaha memengaruhi pembuat kebijakan di AS untuk mendukung mereka menguasai Indonesia kembali dengan menggunakan isu komunisme. Namun, AS berpikiran lain dan berbalik mendukung negara Indonesia yang baru berumur tiga tahun. Menurut hitung-hitungan untung rugi para penentu kebijakan di Washington D.C., mereka akan mengeluarkan biaya jauh lebih besar jika mendukung Belanda terutama dalam hal pengadaan senjata (sebagai gambaran pada Mei 1947 Belanda telah menghabiskan 68 juta dolar AS). “Jadi, kita bantu sedikit Indonesia, dan biarkan negara baru ini menyelesaikan masalah selanjutnya.” Mungkin, kalimat ini yang ada di benak pemerintah AS saat itu.

Bila kita amati lagi terlihat betapa jelinya para pendiri negara Indonesia melihat dan memanfaatkan peran negara besar seperti AS terutama pada masa-masa rawan setelah proklamasi. Pada saat itu, bantuan dunia internasional sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan negara ini sehingga peran diplomasi luar negeri menjadi penting. Haji Agus Salim yang menjabat menteri luar negeri saat itu, mengirim beberapa diplomat untuk menggalang dukungan dari Blok Timur, sementara itu Soekarno dan Mohamad Hatta menunjukkan sikap menjauhi komunisme dengan menolak kerja sama dengan Vietnam. Penolakan ini tidak lain demi meraih bantuan AS. Sementara itu, setelah bantuan didapatkan, kita mengetahui bersama Soekarno sering mengecam AS. Sebaliknya, AS pun bersikap mendua. Contohnya, mereka mendorong Indonesia menerima kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang nyata-nyata merugikan Indonesia karena diharuskan membayar utang warisan Hindia Belanda yang sangat besar. Namun, sebagai gantinya AS menjanjikan bantuan dana yang besar juga bagi Indonesia. Awalnya, bantuan berjalan lancar, tetapi selanjutnya tersendat. Kondisi ini mendorong Soekarno kerap “mengejek” AS. Ini biasa disebut dengan ”benci tapi rindu”. Dari sini sudah terlihat seberapa ”kentalnya” hubungan Indonesia dengan AS bila dilihat dari potrait sejarah.

Ketika perang dingin, Indonesia menetapkan diri sebagai negara non blok yang menganut politik luar negeri bebas-aktif serta pada tahun 1955 berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menimbulkan sikap dan kepercayaan diri lebih kuat dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Buat AS sikap non-blok (non-alignment) dinilai amoral, sebagaimana dinyatakan John Foster Dulles, menteri luar negeri AS pada tahun 1950-an. Mengingat pentingnya Indonesia dalam konstelasi internasional, baik karena jumlah penduduknya yang besar (pada tahun 1950-an sudah sekitar 150 juta orang), banyaknya sumberdaya alam yang dikandung buminya maupun karena berada di posisi silang yang amat strategis antara dua samudera dan dua benua, maka blok Barat dan khususnya AS berkepentingan Indonesia berada di pihaknya menghadapi blok Komunis.

Ketika terjadi krisis Moneter pada tahun 1997, IMF yang boleh dikatakan dikendalikan pemerintah AS bukannya membantu Indonesia mengatasi masalahnya. Sebaliknya banyak keputusan IMF malahan makin mempersulit Indonesia, sebagaiman juga dikatakan oleh pengamat internasional yang obyektif. Malahan ada yang mengatakan bahwa mungkin saja krisis ekonomi di Asia Timur diciptakan AS demi kepentingannnya. Akibat kegagalan ekonomi kepemimpinan Soeharto runtuh pada tahun 1998. Maka Indonesia tidak hanya diliputi krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik. Terjadilah Gerakan Reformasi di Indonesia yang maksudnya baik, yaitu membawa Indonesia kepada jalan yang benar untuk menciptakan kesejahteraan rakyat lahir batin. Akan tetapi sayangnya implementasinya jauh dari memuaskan. Sebab utama adalah tidak adanya kepemimpinan yang cukup kuat dan efektif untuk membawa Gerakan Reformasi itu kepada tujuannya. Maka terbuka peluang yang lebar bagi AS untuk mewujudkan kehendaknya, yaitu mempengaruhi perkembangan di Indonesia sesuai dengan kepentingannya. Proses demokratisasi memang merupakan salah satu tujuan penting Reformasi. Akan tetapi yang kemudian sangat berpengaruh adalah mereka yang memasukkan demokrasi berdasarkan orientasi Amerika, yaitu dikendalikan nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme. Demikian pula perkembangan ekonomi dipengaruhi agar sesuai dengan azas-azas neo-liberalisme yang sedang dominant di AS. Akibatnya adalah makin kurang jelas ke arah mana Reformasi akan berjalan.

Sikap Amerika terhadap Indonesia makin tajam ketika negara itu mengalami serangan pada 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon, sedangkan penyerangnya adalah teroris Islam yang bergabung dalam organisasi Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden. Meskpun Indonesia menyatakan dukungannya kepada AS yang kemudian melancarkan War on Terrorism, namun hubungan menjadi makin sulit. Hal itu terutama disebabkan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia dan telah terjadi perkembangan yang kurang baik pada sementara warga Muslim Indonesia. Ternyata telah terbentuk organisasi Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara yang melibatkan warga Msulim Indonesia, baik sebagai pimpinan maupun anggota. Dan nyata sekali bahwa ada hubungan dekat antara Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda. Bom-bom meledak di berbagai tempat di Indonesia sebagai indikasi kegiatan organisasi itu, termasuk di hotel Marriott Jakarta dan dua kali di Bali. AS makin khawatir bahwa Indonesia menjadi sumber teroris internasional yang membahayakan kepentingannya. Meskipun umat Islam di Indonesia lebih banyak yang bersikap moderat dan menolak terorisme, namun di pihak lain mereka juga menjadi membenci Amerika setelah negara itu menyerang Afghanistan dan khususnya Irak tanpa persetujuan PBB. Ini semua membuat hubungan AS dengan Indonesia makin tidak mudah. Apalagi kesejahteraan rakyat Indonesia bukannya makin meningkat, malahan kemiskinan dan pengangguran makin bertambah.

Hubungan antara Indonesia dan Amerika adalah satu hal yang amat penting, baik bagi Indonesia maupun Amerika. Berbagai faktor menunjukkan, seperti faktor geostrategi dan faktor ekonomi, bahwa kedua negara berkepentingan memelihara hubungan yang baik dan lancar. Adalah satu kenyataan pula bahwa AS telah menjadi satu-satunya adikuasa di dunia dengan kekuatan politik, ekonomi, militer, teknologi dan lainnya yang sukar ditandingi negara lain. Agar supaya hubungan Indonesia dengan AS dapat berjalan harmonis maka Indonesia harus menjadi negara yang cukup mantap dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Satu negara yang harus diperhitungkan kekuatannya, juga oleh AS. Tanpa itu sikap AS akan terlalu dominant dengan segala akibatnya yang merugikan. Untuk itu maka di Indonesia perlu berkembang pemerintahan dengan kepemimpinan yang kuat dan efektif yang dapat menunjukkan good governance yang menghasilkan prestasi kemajuan dalam kehidupan bangsa, baik berupa kesejahteraan rakyat lahir dan batin maupun dalam segi keamanan nasionalnya.

Masyarakat Cina di Indonesia sebelum masuknya bangsa asing lebih dianggap sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Sebagai contohnya pada masa Majapahit, seni pembuatan perahu yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit mendapat banyak bantuan secara teknis dari warga keturunan Cina tersebut. Pada masa pra-kolonial warga pribumi sangat menyatu dengan warga keturunan Cina, dan bahkan pada masa Mataram hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan dimana korbannya adalah warga keturunan Cina akan mendapat hukuman dua kali lebih berat jika korbannya adalah warga pribumi Jawa. Kedatangan Bangsa Cina ke Indonesia banyak disebabkan oleh adanya bencana seperti kelaparan, penyakit, serta peperangan yang tiada henti di Dataran Cina akibat perebutan kekuasaan.

Hubungan yang harmonis antara masyarakat Cina dan pribumi yang terjalin baik selama ratusan tahun berubah ketika Belanda masuk ke Indonesia. Belanda menerapkan kebijakan untuk membentuk perkampungan berdasarkan etnis dan ini merupakan bentuk nyata politik devide et impera. Masyarakat Cina di Indonesia dipisahkan dari masyarakat pribumi, hal ini kemudian dipertegas dengan adanya aturan penggolongan penduduk dalam hukum perdata yang membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Cina dan Timur Asing, serta Bumiputera (Pribumi). Hasilnya? Kita saat ini dapat melihat banyaknya kompleks perumahan yang dihuni oleh hanya satu etnis yang sama, demikian pula sekolah, hingga perkantoran di Indonesia. Tindakan Belanda ternyata sangat efektif memecah belah dan secara langsung juga menumbuhkan kecurigaan (prejudice) antar etnis di Nusantara.

Pada tahun 1967, hubungan antara Indonesia dengan RRC sempat putus. Sejak tragedi “Gerakan 30 September” (G30S) 1965, Kedubes Cina selalu menjadi sasaran penyerbuan organisasi-organisasi massa (ormas) dukungan tentara yang anti komunis. Saat itu, para ormas dan tentara yang dipelopori Angkatan Darat tersebut sudah terlanjur marah dengan Cina, yang dituding menjadi aktor intelektual atas pembantaian para jenderal dan perwira militer Indonesia yang anti komunis. Seperti yang dituturkan oleh seorang pengamat masalah Cina, Benny Setiono, sejak peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat (AD) yang dimotori Kolonel Untung dengan dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), penyerangan atas fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina beserta para diplomatnya di beberapa kota di Indonesia kian gencar. Peristiwa Oktober Berdarah 1967 tersebut menyebar luas ke beberapa kota di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Dalam sekejap, akhir Oktober 1967 hubungan formal antara Indonesia dan Cina kandas di tengah jalan. Bahkan kali ini kebencian massal sudah mengarah kepada warga keturunan Tionghoa maupun mereka yang bermata sipit mirip orang Cina yang sudah turun-temurun tinggal di Indonesia. Salah satu ‘insiden’ yang dilakukan Cina adalah tidak mengirim seorang perwakilan pun dalam pemakaman para jenderal yang diculik dan dibunuh di Taman Makam Pahlawan Kalibata 5 Oktober 1965.

Selain itu Kedutaan Cina di Jakarta di saat yang bersamaan tidak menurunkan bendera nasionalnya hingga setengah tiang, seperti yang dianjurkan pemerintah Indonesia kepada seluruh kantor perwakilan asing sebagai ungkapan berkabung. Tak heran, pada 11 Oktober 1965 pemerintah Indonesia mengajukan protes kepada Cina yang tidak mengibarkan bendera setengah tiang. Apakah sikap-sikap tidak simpatik yang ditunjukkan Cina tersebut merupakan suatu bentuk kekecewaan atas gagalnya manuver PKI atau tidak masih perlu dibuktikan. Namun yang jelas ketidakpekaan Cina atas situasi pasca G30S tersebut terlanjur mengundang kemarahan militer dan organisasi massa anti komunis dan menuding Peking selama ini turut mendukung upaya-upaya PKI merebut kekuasaan. Penyerangan sporadis atas fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina di beberapa kota akhirnya berlangsung. Perubahan radikal tersebut akhirnya kian menegaskan sikap baru Indonesia kepada Cina. Poros Jakarta-Peking yang dicita-citakan Soekarno gagal terwujud. Bahkan, hubungan kedua sekutu tersebut akhirnya putus selama 23 tahun.

Namun, semakin kesini, hubungan Indonesia dengan Cina lebih fokus ke arah ekonomi. Sejak dibuka hubungan diplomatik kedua negara pada 1990 masing-masing negara sesungguhnya memiliki ikatan emosional yang tinggi sehingga perlu ditingkatkan. Indonesia mengharapkan Cina serius meningkatkan investasinya di Indonesia dengan melibatkan pengusaha lokal di samping meningkatan hubungan dagang yang tumbuh pesat sejak 1990an.Apalagi sejak ditandatanganinya Kerjasama Strategis RI dengan RRC oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao, hubungan kedua negara sampai kini terus meningkat. Berbagai kerjasama oleh kedua negara telah, sedang dan akan ditingkatkan untuk berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pertahanan keamanan, hukum, hingga pariwisata serta sosial budaya. Untuk bidang pertahanan keamanan, kedua negara pada November 2007 telah menandatangani suatu nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan oleh masing-masing Menhan. Demikian juga untuk pertukaran sosial budaya, kata Dubes, Indonesia dan Cina telah beberapa kali melakukan kunjungan misi budaya ke masing-masing negara, yang tujuannya antara lain untuk memperkenalkan budaya dan wisata. Khusus untuk bidang hukuam, rencananya kedua negara akan menandatangani naskah ekstradisi RI-Cina yang akan dilakukan oleh masing-masing Menlu tahun 2008.

Sumber:

http://www.voanews.com/indonesian/archive/2005-11/2005-11-23-voa7.cfm?moddate=2005-11-23

http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=621

http://nasional.vivanews.com/news/read/56987-ri_harus_manfaatkan_momentum_era_obama

http://www.crcs.ugm.ac.id/res_editorial_view.php?editorial_id=10

http://internasional.kompas.com/read/xml/2008/11/15/1001541/presiden.optimistis.hubungan.indonesia-as.membaik

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/28/brk,20060328-75594,id.html

Bandung Spirit dan Peningkatan Peran Republik Indonesia di Dunia

oleh: Putri Dwi Arlin

Bandung Spirit dan Peningkatan Peran
Republik Indonesia di Dunia

Berakhirnya perang dunia II bukan berarti berakhir pula penderitan-penderitaan yang dialami oleh bangsa-bangsa di dunia. Tetap saja masih banyak terjadi pergolakan antar bangsa di dunia. Berbagai pergolakan ini disebatkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Bangsa-bangsa di Asia-Afrika juga tidak luput dari sasaran mereka. Kedua blok ini saling berlomba untuk menarik negara-negara di Asia-Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal inilah yang menimbulkan suasana permusuhan yang terselubung antara kedua blok tersebut demikian pula dengan para pendukungannya yang kita kenal dengan istilah Perang Dingin.
Pergolakan yang terjadi juga disebabkan karena masih adanya penjajahan di dunia. Banyak tempat di daerah Asia-Afrika yang menjadi jajahan bangsa Barat. Namun, semenjak tahun 1945 banyak negara yang merdeka di sekitar Asia-Afrika dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negaranya. Sisa-sisa penjajahan juga masih menghantui negara-negra yang telah merdeka. Seperti masalah Indonesia mengenai perebutan Irian Barat, pendudukan secara paksa oleh pasukan Israel yang dibantu Amerika di tanah India dan Pakistan yang memaksa warga untuk mengungsi. Situasi dalam negeri negara-negara yang telah merdeka pun masih banyak yang belum stabil dikarenakan masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan dang pengaruh perang dingin tersebut. Bukan hanya itu, seluruh bangsa di dunia juga sedang dilanda ketakutan akibat dikembangkannya senjata nuklir yang dapat memusnahkan seluruh umat manusia. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Pada tanggal 25 Agustus 1953, Perdana Menteri Indonesia, Mr. Ali Sastroamidjojo di depan parlemen memberikan keterangan tentang politik luar negeri yang isinya mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika. Pada awal taun 1954, Perdana Menteri Srilanka mengundang perwakilan negara dari Birma, India, Indonesia, Pakistan untuk mengadakan sebuah pertemuan yang diberi nama Konferensi Kolombo yang membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Pada konferensi ini, Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas anatara negara-negara Asia dan Afrika. Pernyataan tersebut yang memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika. Selanjutnya, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, Kelima negara tadi mengadakan konferensi di Bogor yang dienal dengan Konferensi Panca Negara dan membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara. Dan akhirnya, pada tanggal 18 sampai 24 April 1955 terselenggaralah Konferensi Asia Afrika di Bandung dan dihadiri 24 negara dari Asia dan Afrika.
Konferensi Asia Afrika di Bandung telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regiobal. Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka dibenua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa ciat-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah merintis kelahiran Dunia Ketiga atau “ Non-Aligned ” dan Gerakan Non-Blok yang telah mematahakan dominasi kedua negara adidaya dalam dunia internasional. Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-bangsa . Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat dan Timur. Konferensi ini merupakan suara hati dari mayoritas umat manusia, terutama dari benua Asia dan Afrika, yang ingin meningkatkan nasionalisme ke tingkat kerjasama internasional. Ini juga merupakan titik tolak yang dipelopori oleh negara-negara Asia-Afrika terhadapa rezim lama dalam dunia internasional.
Bagi Indonesia, konferensi ini telah membawa dampak besar bagi bangsa ini. Nama Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional dan menaikkan derajat politik luar negeri Indonesia. Indonesia dianggap berhasil menjadi pelopor dan tuan rumah bagi terselenggaranya konferensi yang tujuannya menginginkan perdamaian dunia ini. Konferensi ini diilhami oleh garis besar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Setelah adanya konferensi ini, Indonesia aktif diundang oleh negara-negara lain dalam berbagai acara.
Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asuia Afrika sebagai berikut : “May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacom guiding the future progress of Asia and Afrika.

“ Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita diatas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan dimasa depan dari Asia dan Afrika “


Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia

oleh: Putri Dwi Arlin


Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia

Sebagai negara yang berdaulat dan berhubungan dengan negara-negara lain, Indonesia pasti memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan luar negeri yang dimiliki Indonesia merupakan bagian dari politik luar negeri yang di dalamnya bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Politik luar negeri yang dimiliki Indonesia, berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri dan situasi internasional.

Politik luar negeri Indonesia memiliki dua landasan dasar, yaitu landasan Konstitusional dan landasan Idiil. Landasan konstitusinal politik luar negeri Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 yang memuat dasar-dasar kepentingan nasional negara Indonesia memberikan garis-garis besar dalam penentuan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945. Landasan yang kedua adalah landasan Idiil. Landasan Idiil dalam politik luar negeri Indonesia adalah dasar negara kita yaitu Pancasila. Wakil Presiden pertama kita, Drs. Mohammad Hatta mengatakan bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia dan merupakan faktor obyektif karena Pancasila sebagai falsafah yang mengikat seluruh bangsa Indonesia. Mengapa Pancasila merupakan landasan Idiil bagi politik luar negeri Indonesia? Karena seluruh isi dari Pancasila merupakan pedoman dasar yang ideal bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara serta mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Maka dari itu, tidak ada satupun orang yang dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.

Dalam setiap periode pemerintahan, selalu menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional dan kondisi negara saat itu agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia. Pada masa orde lama, landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan maklumat dan pidato Presiden Soekarno. Maklumat Politik Pemerintahan dikeluarkan pada tanggal 1 November 1945 yang memuat prinsip politik luar negeri Indonesia diantaranya yaitu kebijakan hidup bertetangga baik dengan negara-negara di kawasan, kebijakan tidak turut campur tangan dalam urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.

Pada tahun 1950-an, landasan operasional dari politik bebas aktif mengalami perluasan makna. Maksudnya adalah kita harus benar-benar mencerminkan politik luar negeri bebas aktif kita di segala arah dalam hubungan luar negeri. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam pidatonya yang berjudul “Jalan Revolusi Kita” atau yang biasa disingkat “Jarek” bahwa “Pendirian kita yang bebas aktif itu secara aktif pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, agar tidak berat sebelah ke barat atau ke timur”. Presiden Soekarno menyatakan inti dari politik luar negeri Indonesia dan sekaligus merupakan gari-garis besar politik luar negeri Indonesia dalam “Perincian Pedoman Manifesto Politik Republik Indonesia” dengan keputusan Dewan Pertimbangan Agung pada tanggal 19 Januari 1961 yang berisi tentang sifat politik luar negeri bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dan memilki tujuan yaitu :

© Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia

© Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia

© Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia

Landasan operasional politik luar negeri Indonesia semakin dipertegas pada masa pemerintahan Orde Baru dengan beberapa aturan formal, antara lain:

© Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1996 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia

© Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973

© Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai rincian ketetapan MPR di atas yang menjabarkan berbagai usaha yang perlu dilakukan dalam melaksanakan prinsip bebas aktif

© Petunjuk bulanan Presiden sebagai Ketua Dewan Stabilitas Politik dan Keamanan

© Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri

Landasan operasional poltik luar negeri Indonesia juga dituangkan dalam TAP MPR tentang GBHN yang pada intinya mengatakan bahwa dalam bidang politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Konsep anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang dibuat Soekarno sudah tidak lagi muncul. Sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional. Perbedaan ini terjadi seiring dengan pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto.

Pada masa Pasca-Orde Baru, pemerintah mengoperasionalkan politik luar negeri Indonesia melalui

© Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang GBHN dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004

© UU No.37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

© UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

© Perubahan UUD 1945

Sebagaimana yang kita tahu, politik luar negeri Indonesia adalah politik luar negeri bebas aktif. Politik luar negeri yang bebas aktif mengandung dua unsur yang fundamental, yaitu “Bebas” dan “Aktif”. Bung Hatta mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Mendayung Antara Dua Karang” bahwa dalam konteks kondisi pertentangan antara dua blok, politik “Bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memiliki jalannya sendiri dalam mengatasi persoalan internasional. Sedangkan “Aktif” berarti upaya untuk bekerja lebih giat guna menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan. Bebas juga berarti menunjukan tingginya nasionalisme dan menolak keterlibatan atau ketergantungan dengan pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Politik luar negeri Indonesia sering disebut “netral”. Ini lebih didasarkan atas pertimbangan untuk memperkukuh dan memperjuangkan perdamaian. Prinsip Bebas Aktif yang dianut Indonesia ini menunjukan bahwa Indonesia tidak ingin mengikat diri dalam satu blok. Istilah ini dikenal dengan non-alignment policy. Prinsip inilah yang akhirnya mendorong terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung, karena beberapa negara di Asia dan Afrika juga menganut politik luar negeri yang prisipnya hampir sama dengan dengan negara kita.

Sourcess:

Bab II Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia oleh Athiqah Nur Alami

Artikel Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif oleh

Litbang Deplu & UGM Yogyakarta. 1988.