Sabtu, 21 November 2009

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA BESAR ( AS DAN CINA )

POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA BESAR

( AS DAN CINA )

Pada tahun 1945 saat perang dunia kedua berlangsung, Jepang menyerang pelabuhan militer milik Amerka Serikat Pearl Harbour. Seperti macan tidur yang dibangunkan, Amerika membalas serangan tersebut dengan menjatuhkan bom atom di dua kota besar milik Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Indonesia yang saat itu sedang di jajah oleh Jepang mengalami keadaan status quo yang kemudian digunakan oleh Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Apakah bisa dikatakan bahwa Indonesia merdeka karena Amerika ??

Bila kita melihat pada alur sejarah saat Belanda berkuasa di Indonesia, para petugas korps diplomati AS di Jawa dan Sumatra mengeluarkan kritik tajam atas pemerintah kolonial Belanda yang melanggar kaidah-kaidah keadilan hukum ketika menangani kaum nasionalis Indonesia. Namun, perubahan sikap ini tidak terlalu drastis karena saat itu pemerintah AS masih memperhitungkan untung rugi jika memberikan dukungan pada Indonesia atau Belanda

Perubahan baru benar-benar tampak pada 1948. Pada masa itu, Belanda yang masih tidak ingin kehilangan Indonesia (jajahannya yang telah memberikan keuntungan begitu besar bagi negara bawah laut itu) berusaha memengaruhi pembuat kebijakan di AS untuk mendukung mereka menguasai Indonesia kembali dengan menggunakan isu komunisme. Namun, AS berpikiran lain dan berbalik mendukung negara Indonesia yang baru berumur tiga tahun. Menurut hitung-hitungan untung rugi para penentu kebijakan di Washington D.C., mereka akan mengeluarkan biaya jauh lebih besar jika mendukung Belanda terutama dalam hal pengadaan senjata (sebagai gambaran pada Mei 1947 Belanda telah menghabiskan 68 juta dolar AS). “Jadi, kita bantu sedikit Indonesia, dan biarkan negara baru ini menyelesaikan masalah selanjutnya.” Mungkin, kalimat ini yang ada di benak pemerintah AS saat itu.

Bila kita amati lagi terlihat betapa jelinya para pendiri negara Indonesia melihat dan memanfaatkan peran negara besar seperti AS terutama pada masa-masa rawan setelah proklamasi. Pada saat itu, bantuan dunia internasional sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan negara ini sehingga peran diplomasi luar negeri menjadi penting. Haji Agus Salim yang menjabat menteri luar negeri saat itu, mengirim beberapa diplomat untuk menggalang dukungan dari Blok Timur, sementara itu Soekarno dan Mohamad Hatta menunjukkan sikap menjauhi komunisme dengan menolak kerja sama dengan Vietnam. Penolakan ini tidak lain demi meraih bantuan AS. Sementara itu, setelah bantuan didapatkan, kita mengetahui bersama Soekarno sering mengecam AS. Sebaliknya, AS pun bersikap mendua. Contohnya, mereka mendorong Indonesia menerima kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang nyata-nyata merugikan Indonesia karena diharuskan membayar utang warisan Hindia Belanda yang sangat besar. Namun, sebagai gantinya AS menjanjikan bantuan dana yang besar juga bagi Indonesia. Awalnya, bantuan berjalan lancar, tetapi selanjutnya tersendat. Kondisi ini mendorong Soekarno kerap “mengejek” AS. Ini biasa disebut dengan ”benci tapi rindu”. Dari sini sudah terlihat seberapa ”kentalnya” hubungan Indonesia dengan AS bila dilihat dari potrait sejarah.

Ketika perang dingin, Indonesia menetapkan diri sebagai negara non blok yang menganut politik luar negeri bebas-aktif serta pada tahun 1955 berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menimbulkan sikap dan kepercayaan diri lebih kuat dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Buat AS sikap non-blok (non-alignment) dinilai amoral, sebagaimana dinyatakan John Foster Dulles, menteri luar negeri AS pada tahun 1950-an. Mengingat pentingnya Indonesia dalam konstelasi internasional, baik karena jumlah penduduknya yang besar (pada tahun 1950-an sudah sekitar 150 juta orang), banyaknya sumberdaya alam yang dikandung buminya maupun karena berada di posisi silang yang amat strategis antara dua samudera dan dua benua, maka blok Barat dan khususnya AS berkepentingan Indonesia berada di pihaknya menghadapi blok Komunis.

Ketika terjadi krisis Moneter pada tahun 1997, IMF yang boleh dikatakan dikendalikan pemerintah AS bukannya membantu Indonesia mengatasi masalahnya. Sebaliknya banyak keputusan IMF malahan makin mempersulit Indonesia, sebagaiman juga dikatakan oleh pengamat internasional yang obyektif. Malahan ada yang mengatakan bahwa mungkin saja krisis ekonomi di Asia Timur diciptakan AS demi kepentingannnya. Akibat kegagalan ekonomi kepemimpinan Soeharto runtuh pada tahun 1998. Maka Indonesia tidak hanya diliputi krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik. Terjadilah Gerakan Reformasi di Indonesia yang maksudnya baik, yaitu membawa Indonesia kepada jalan yang benar untuk menciptakan kesejahteraan rakyat lahir batin. Akan tetapi sayangnya implementasinya jauh dari memuaskan. Sebab utama adalah tidak adanya kepemimpinan yang cukup kuat dan efektif untuk membawa Gerakan Reformasi itu kepada tujuannya. Maka terbuka peluang yang lebar bagi AS untuk mewujudkan kehendaknya, yaitu mempengaruhi perkembangan di Indonesia sesuai dengan kepentingannya. Proses demokratisasi memang merupakan salah satu tujuan penting Reformasi. Akan tetapi yang kemudian sangat berpengaruh adalah mereka yang memasukkan demokrasi berdasarkan orientasi Amerika, yaitu dikendalikan nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme. Demikian pula perkembangan ekonomi dipengaruhi agar sesuai dengan azas-azas neo-liberalisme yang sedang dominant di AS. Akibatnya adalah makin kurang jelas ke arah mana Reformasi akan berjalan.

Sikap Amerika terhadap Indonesia makin tajam ketika negara itu mengalami serangan pada 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon, sedangkan penyerangnya adalah teroris Islam yang bergabung dalam organisasi Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden. Meskpun Indonesia menyatakan dukungannya kepada AS yang kemudian melancarkan War on Terrorism, namun hubungan menjadi makin sulit. Hal itu terutama disebabkan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia dan telah terjadi perkembangan yang kurang baik pada sementara warga Muslim Indonesia. Ternyata telah terbentuk organisasi Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara yang melibatkan warga Msulim Indonesia, baik sebagai pimpinan maupun anggota. Dan nyata sekali bahwa ada hubungan dekat antara Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda. Bom-bom meledak di berbagai tempat di Indonesia sebagai indikasi kegiatan organisasi itu, termasuk di hotel Marriott Jakarta dan dua kali di Bali. AS makin khawatir bahwa Indonesia menjadi sumber teroris internasional yang membahayakan kepentingannya. Meskipun umat Islam di Indonesia lebih banyak yang bersikap moderat dan menolak terorisme, namun di pihak lain mereka juga menjadi membenci Amerika setelah negara itu menyerang Afghanistan dan khususnya Irak tanpa persetujuan PBB. Ini semua membuat hubungan AS dengan Indonesia makin tidak mudah. Apalagi kesejahteraan rakyat Indonesia bukannya makin meningkat, malahan kemiskinan dan pengangguran makin bertambah.

Hubungan antara Indonesia dan Amerika adalah satu hal yang amat penting, baik bagi Indonesia maupun Amerika. Berbagai faktor menunjukkan, seperti faktor geostrategi dan faktor ekonomi, bahwa kedua negara berkepentingan memelihara hubungan yang baik dan lancar. Adalah satu kenyataan pula bahwa AS telah menjadi satu-satunya adikuasa di dunia dengan kekuatan politik, ekonomi, militer, teknologi dan lainnya yang sukar ditandingi negara lain. Agar supaya hubungan Indonesia dengan AS dapat berjalan harmonis maka Indonesia harus menjadi negara yang cukup mantap dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Satu negara yang harus diperhitungkan kekuatannya, juga oleh AS. Tanpa itu sikap AS akan terlalu dominant dengan segala akibatnya yang merugikan. Untuk itu maka di Indonesia perlu berkembang pemerintahan dengan kepemimpinan yang kuat dan efektif yang dapat menunjukkan good governance yang menghasilkan prestasi kemajuan dalam kehidupan bangsa, baik berupa kesejahteraan rakyat lahir dan batin maupun dalam segi keamanan nasionalnya.

Masyarakat Cina di Indonesia sebelum masuknya bangsa asing lebih dianggap sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Sebagai contohnya pada masa Majapahit, seni pembuatan perahu yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit mendapat banyak bantuan secara teknis dari warga keturunan Cina tersebut. Pada masa pra-kolonial warga pribumi sangat menyatu dengan warga keturunan Cina, dan bahkan pada masa Mataram hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan dimana korbannya adalah warga keturunan Cina akan mendapat hukuman dua kali lebih berat jika korbannya adalah warga pribumi Jawa. Kedatangan Bangsa Cina ke Indonesia banyak disebabkan oleh adanya bencana seperti kelaparan, penyakit, serta peperangan yang tiada henti di Dataran Cina akibat perebutan kekuasaan.

Hubungan yang harmonis antara masyarakat Cina dan pribumi yang terjalin baik selama ratusan tahun berubah ketika Belanda masuk ke Indonesia. Belanda menerapkan kebijakan untuk membentuk perkampungan berdasarkan etnis dan ini merupakan bentuk nyata politik devide et impera. Masyarakat Cina di Indonesia dipisahkan dari masyarakat pribumi, hal ini kemudian dipertegas dengan adanya aturan penggolongan penduduk dalam hukum perdata yang membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Cina dan Timur Asing, serta Bumiputera (Pribumi). Hasilnya? Kita saat ini dapat melihat banyaknya kompleks perumahan yang dihuni oleh hanya satu etnis yang sama, demikian pula sekolah, hingga perkantoran di Indonesia. Tindakan Belanda ternyata sangat efektif memecah belah dan secara langsung juga menumbuhkan kecurigaan (prejudice) antar etnis di Nusantara.

Pada tahun 1967, hubungan antara Indonesia dengan RRC sempat putus. Sejak tragedi “Gerakan 30 September” (G30S) 1965, Kedubes Cina selalu menjadi sasaran penyerbuan organisasi-organisasi massa (ormas) dukungan tentara yang anti komunis. Saat itu, para ormas dan tentara yang dipelopori Angkatan Darat tersebut sudah terlanjur marah dengan Cina, yang dituding menjadi aktor intelektual atas pembantaian para jenderal dan perwira militer Indonesia yang anti komunis. Seperti yang dituturkan oleh seorang pengamat masalah Cina, Benny Setiono, sejak peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat (AD) yang dimotori Kolonel Untung dengan dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), penyerangan atas fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina beserta para diplomatnya di beberapa kota di Indonesia kian gencar. Peristiwa Oktober Berdarah 1967 tersebut menyebar luas ke beberapa kota di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Dalam sekejap, akhir Oktober 1967 hubungan formal antara Indonesia dan Cina kandas di tengah jalan. Bahkan kali ini kebencian massal sudah mengarah kepada warga keturunan Tionghoa maupun mereka yang bermata sipit mirip orang Cina yang sudah turun-temurun tinggal di Indonesia. Salah satu ‘insiden’ yang dilakukan Cina adalah tidak mengirim seorang perwakilan pun dalam pemakaman para jenderal yang diculik dan dibunuh di Taman Makam Pahlawan Kalibata 5 Oktober 1965.

Selain itu Kedutaan Cina di Jakarta di saat yang bersamaan tidak menurunkan bendera nasionalnya hingga setengah tiang, seperti yang dianjurkan pemerintah Indonesia kepada seluruh kantor perwakilan asing sebagai ungkapan berkabung. Tak heran, pada 11 Oktober 1965 pemerintah Indonesia mengajukan protes kepada Cina yang tidak mengibarkan bendera setengah tiang. Apakah sikap-sikap tidak simpatik yang ditunjukkan Cina tersebut merupakan suatu bentuk kekecewaan atas gagalnya manuver PKI atau tidak masih perlu dibuktikan. Namun yang jelas ketidakpekaan Cina atas situasi pasca G30S tersebut terlanjur mengundang kemarahan militer dan organisasi massa anti komunis dan menuding Peking selama ini turut mendukung upaya-upaya PKI merebut kekuasaan. Penyerangan sporadis atas fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina di beberapa kota akhirnya berlangsung. Perubahan radikal tersebut akhirnya kian menegaskan sikap baru Indonesia kepada Cina. Poros Jakarta-Peking yang dicita-citakan Soekarno gagal terwujud. Bahkan, hubungan kedua sekutu tersebut akhirnya putus selama 23 tahun.

Namun, semakin kesini, hubungan Indonesia dengan Cina lebih fokus ke arah ekonomi. Sejak dibuka hubungan diplomatik kedua negara pada 1990 masing-masing negara sesungguhnya memiliki ikatan emosional yang tinggi sehingga perlu ditingkatkan. Indonesia mengharapkan Cina serius meningkatkan investasinya di Indonesia dengan melibatkan pengusaha lokal di samping meningkatan hubungan dagang yang tumbuh pesat sejak 1990an.Apalagi sejak ditandatanganinya Kerjasama Strategis RI dengan RRC oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao, hubungan kedua negara sampai kini terus meningkat. Berbagai kerjasama oleh kedua negara telah, sedang dan akan ditingkatkan untuk berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pertahanan keamanan, hukum, hingga pariwisata serta sosial budaya. Untuk bidang pertahanan keamanan, kedua negara pada November 2007 telah menandatangani suatu nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan oleh masing-masing Menhan. Demikian juga untuk pertukaran sosial budaya, kata Dubes, Indonesia dan Cina telah beberapa kali melakukan kunjungan misi budaya ke masing-masing negara, yang tujuannya antara lain untuk memperkenalkan budaya dan wisata. Khusus untuk bidang hukuam, rencananya kedua negara akan menandatangani naskah ekstradisi RI-Cina yang akan dilakukan oleh masing-masing Menlu tahun 2008.

Sumber:

http://www.voanews.com/indonesian/archive/2005-11/2005-11-23-voa7.cfm?moddate=2005-11-23

http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=621

http://nasional.vivanews.com/news/read/56987-ri_harus_manfaatkan_momentum_era_obama

http://www.crcs.ugm.ac.id/res_editorial_view.php?editorial_id=10

http://internasional.kompas.com/read/xml/2008/11/15/1001541/presiden.optimistis.hubungan.indonesia-as.membaik

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/28/brk,20060328-75594,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar