Rabu, 28 April 2010

Comparing Deterrence, Defense, and Compellence


Deterrence dalam bahasa Indonesia berarti pencegahan atau penghindaran. Deterrence merupakan bentuk persuasi dalam strategi militer. Deterrence merupakan suatu strategi dari suatu negara untuk ”menciutkan” niat pihak lawan yang mempunyai maksud menyerang. Seperti mengatakan secara tidak langsung bahwa ” Jangan menyerang saya, jika Anda lakukan maka sesuatu yang sangat mengerikan akan terjadi pada Anda” . Ini berguna untuk mencegah terjadinya peperangan dan memberikan persuasi bahwa dengan adanya perang akan memperburuk keadaan dan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Deterrence bisa juga disebut sebagai ancaman terhadap niat menyerang yang dilakukan oleh lawan. Secara tidak langsung, pihak pertama yang merasa akan diserang akan mengeluarkan isyarat untuk tidak meneruskan niat penyerangan dengan mempertontonkan kekuatan, biasanya adalah kekuatan dan kapabilitas militer. Pihak kedua kemudian juga akan melakukan sesuatu untuk menandingi kekuatan pihak pertama. Pihak pertama akan meningkatkan kemampuannya dan membalas dengan mendemonstrasikan credibility of deterrence yang mereka miliki. Salah satu contoh deterrence adalah adu kekuatan nuklir pada saat perang dingin yang dilakukan oleh Amerika dan Uni Soviet.


Deterrence dengan defense sering kali disamakan pengertiannya. Namun, sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Defense merupakan cara untuk melindungi nilai-nilai yang langka dari serangan lawan, terkait dengan dunia yang anarki (Evans & Newnham 1998:117). Defense dalam bahasa Indonesia berarti pertahanan. Pada saat sebelum terjadi serangan, penggunaan kekuatan militer adalah untuk menakut-nakuti atau mengancam lawan agar tidak menyerang. Namun, ketika terjadi penyerangan, kekuatan militer digunakan untuk mempertahankan diri dan melawan serangan lawan. Defense ini juga merupakan salah satu strategi militer.


Jika dilihat dari sejarah hubungan internasional, deterrence yang dilakukan oleh Amerika bermula ketika ia melakukan serangan pada dua kota besar milik Jepang yaitu Nagasaki dan Hiroshima pada saat Perang Dunia Ke-dua. Penyerangan dengan senjata nuklir yang dilakukan Amerika membuat negara lain merasa takut dan membuka peluang bagi Amerika untuk “menyetir” dunia dengan kekuatan yang dimilikinya. Negara-negara lain akan beranggapan bahwa apabila tidak menuruti kemauan dari Amerika, maka akan bernasib sama dengan yang terjadi di dua kota besar di jepang tersebut. Dalam hal menggunakan teknk deterrence, Amerika dianggap berhasil karena mampu membuat endemik ketakutan yang sedemikian rupa dan berpengaruh pada seluru dunia. Dalam hal ini, deterrence yang dilakukan oleh Amerika pada Jepang adalah dengan teknik punishment, yaitu dengan memberikan “hukuman” pada suatu negara yang melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Keadaan saat perang dingin membawa dunia pada Balance of Power dimana terdapat dua kekuatan yang saling mengimbangi satu sama lain. Namun, dengan adanya adu kekuatan nuklir oleh Amerika dan Uni Soviet, menjadikan Balance of Power bercampur dengan keadaan yang menegangkan yang kemudian disebut dengan istilah Balance of Teror. Ini disebabkan karena senjata yang digunakan dalam adu kekuatan bukan senjata yang “main-main”, tetapi sudah memasuki ranah senjata pemusnah masal. Jika terjadi kesalahan dalam pemanfaatan, maka akan berdamapak pada seluruh dunia dan dapat memusnahkan seluruh makhluk di bumi.


Jika deterrence merupakan strategi militer untuk menekan niat pihak lawan dalam melakukan penyerangan dengan menunjukan kekuatan, maka comppellence adalah kebalikannya. Compellence merupakan strategi untuk memicu pihak lawan untuk melakukan tindakan atau aksi. Compellence theory dikembangkan pertama kali oleh Schelling pada tahun 1966 . Teori ini berawal ketika ia melihat kejadian Cuban missile crisis di tahun 1962 yang menjadi pertunjukan adu senjata nuklir secara berhadapan antara Amerika dan Uni Soviet pada masa perang dingin. Apabila deterrence merupakan tindakan penghindaran tatau pencegahan terhadap suatu tindakan, maka compellence merupakan strategi untuk membuat pihak lawan melakukan “undoing” atau menarik kembali apa yang telah ia lakukan. Dalam kasus Cuban missile crisis, Amerika yang saat itu dibawah pemerintahan Presiden Keneddy, melakukan tindakan compellence dengan meletakkan misil berhadapan dengan yang dimiliki Uni Soviet di Kuba untuk mencegah dan memanipulasi resiko dari “ledakan” yang akan terjadi. Dengan kata lain, Amerika berusaha untuk menekan Uni Soviet agar mereka menarik kembali balistik misil dari tanah Kuba. Karena jika tidak, akan terjadi kehancuran yang luar biasa pada Kuba dan Uni Soviet sendiri yang akan dilakukan oleh Amerika. Namun teknik strategi ini juga memiliki resiko kegagalan yang tinggi apabila pihak lawan tetap tidak mau menghentikan aksinya.

Menurut pendapat penulis, strategi deterrence yang dilakukan oleh Amerika pada saat perang dingin tidak serta merta menimbulkan keamanan dunia. Namun, hal tersebut memang menciptakan keadaan “damai” karena Uni Soviet secara otomatis akan mengurungkan niat penyerangan dan lebih memilih untuk mundur selangkah dengan membenahi kembali dan meningkatkan kekuatan di bidang nuklir. Di sinilah terjadi Balance of Power dalam dunia internasional dengan adanya dua kekuatan yang saling beradu meskipun tidak secara fisik. Namun, ada beberapa ilmuan yang menilai bahwa keadaan tersebut bukan menciptakan keamanan seperti yang diharapkan pada teori Balance of Power. Melainkan muncul ketakutan negara-negara lainnya di dunia akan timbulnya perang nuklir sewaktu-waktu. Teror akan terjadinya perang muklir ini yang menginspirasi munculnya istilah Balance of Teror.

Hubungan antar ketiganya adalah ketika suatu negara menerapkan strategi deterrence dan compellence lalu kemudian gagal, maka strategi defense yang akan digunakan. Ketiga strategi ini penting untuk dipelajari dalam dunia hubungan internasional untuk mempelajari dinamika relasi antar negara-negara pada saat masa perang dunia. Tidak menutup kemungkinan untuk juga menganalisis strategi negara-negara pada masa sekarang.


Sources:

Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations The Key Concept.

New York: Routledge

Evans, Graham and Newnham, Jeffrey., 1998. The Penguin Dictionary of International

Relations. England: Penguin Group

Kegley, C.W., and Witkopf, Eugene R. 1997. World Politics: Trends and

Transformation. New York, S.A. Martin’s press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar