Rabu, 28 April 2010

Power, Balance of Power, and Hegemonic Stability

Konsep power dalam Hubungan Internasional merupakan salah satu konsep yang kontroversial dan menjadi konsep yang sering dibicarakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena power sebenarnya adalah tujuan utama dari Negara-negara di dunia dalam sistem internasional. Menurut Arnold Schwarzenberger, Power merupakan salah satu faktor dalam hubungan internasional. Segala upaya dan kerjasama yang dijalankan dalam dunia hubungan internasional adalah untuk mencapai power yang setinggi-tingginya dan menjadi Negara yang memiliki pengaruh besar serta berkuasa. Banyak ilmuan dan orang-orang poltik yang mencoba mendefinisikan power. namun power tetap saja menjadi sesuatu yang sulit untuk didefinisikan secara pasti. Joseph S. Nye menyatakan bahwa “Power is like love….Casier to experience than to define or measure”.


Power dalam hubungan antar Negara dapat diartikan sebagai kemampuan Negara untuk mengontrol atau mempengaruhi Negara lain ataupun hasil akhir dari sesuatu kejadian. Negara dapat dikatakan memiliki power yang besar apabila ia memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya dengan melakukan control pada Negara lain. Pengaruh yang besar juga menunjukkan power yang besar. Pengertian power bukan lagi hanya kuat secara fisik saja, tetapi merupakan kombinasi antara kekuatan dalam mempengaruhi dan kekuatan dala hal fisik. Menurut Kegley, biasanya power diukur melalui jumlah penduduk, wilayah territorial, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik dan kemampuan dalam diplomasi internasional. Pada masa kuno, power hanya diartikan sebagai kekuatan fisik semata. Siapa yang kuat, dia yang akan menang. Bukan hanya kekuatan militer yang dapat mengukur power suatu Negara dalam era sekarang, tetapi juga kekayaan sumber daya alam, kemampuan pemimpin, penguasaan akan teknologi, pola pemerintahan serta kemampuan untuk memanfaatkan kesemuanya itu.


Power dapat berubah dan tidak statis. Semakin kesini, ukuran power suatu negara semakin kurang menghiraukan aspek militer ataupun aspek-aspek standart lainnya, tetapi lebih fokus kepada penguasaan di bidang ekonomi. Ekonomi digunakan sebagai suatu indikator utama dalam menentukan besarnya power suatu negara. Ukuran national power semakin berubah dan tidak terlalu fokus pada military power, tetapi lebih mengedepankan aspek economic power. Sumber-sumber power dibagi menjadi dua, yaitu tangible (nyata secara fisik) dan intangible (tidak terlihat tetapi ada). Contoh sumber yang tangible seperti teritorial, sumber daya manusia, sumber daya alam, kekuatan militer dan lain sebagainya. Contoh dari sumber power yang intangible adalah kemampuan berdiplomasi dan menempatkan bargaining position, pengaruh ideologi, pengaruh kebudayaan dan masi banyak yang lainnya.


Terdapat dua dimensi dalam power, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal merupakan kemampuan untuk melakukan aksi. Negara harus mampu bertahan dari pengaruh dan serangan negara luar melalui penentuan kebijakan yang tepat. Dengan kata lain ia harus punya otonomi atau kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dimensi eksternal adalah kemampuan untuk mengontrol perilaku negara lain. Disini dilihat bagaimana negara berkemampuan untuk memperkuat pengaruhnya demi memjadikan negara lain ikut pada aturan mainya agar ia dapat meraih national interestnya.


Apabila kita membicara tentang power, pasti tidak terlepas dari konsep balance of power. Balance of power juga merupakan salah satu teori dari Morgenthau yang sering diperdebatkan dalam hubungan internasional. Balance of power merupakan hubungan distribusi kekuasaan antara negara-negara kedalam pembagian yang rata maupun tidak. Dalam balance of power ditekankan pada efektifitas pengendalian atau kontrol terhadap power suatu negara yang dilakukan oleh negara lain. Kemampuan negara lain sebagai penyeimbang sangat menentukan dalam teori ini. Teori ini muncul dengan asumsi dasar bahwa apabila suatu negara menggunakan kekuatannya secara berlebih dan mulai bertindak ke arah yang dominan dan agresif, maka negara-negara lain pun juga akan meningkatkan power serta kewaspadaan mereka karena mereka merasa terancam dengan hal tersebut. Jadi tidak akan ada yang menjadi lebih dominan dari negara lain dalam hubungan antar negara (equilibrium). Contohnya adalah kondisi bipolar system antara Amerika dan Uni Soviet pada masa perang dingin yang menimbulkan adanya kontrol terhadap kekuatan antar keduanya dan menimbulkan keseimbangan dalam kondisi internasional. Dalam teori ini, keseimbangan kekuatan atau kekuasaan (balance of power) dirasa lebih baik daripada ketidakseimbangan kekuasaan. Ketidakseimbangan kekuasaan dianggap berbahaya karena dapat menimbulkan dominasi dan kesewenang-wenangan. Negara yang berada dalam posisi tidak menguntungkan, akan membentuk suatu aliansi atau organisasi untuk mencegah negara hegemoni yang berpotensi muncul atau meminta negara lain yang lebih memungkinkan untuk mengendalikan si penyerang (hegemon). Respon ini sering dikenal dengan nama counter balancing coalition. Saat Jerman mulai meningkatkan kekuatannya menjelang perang dunia I, Uni Soviet, Inggris , Prancis, Amerika serta beberapa negara lain membentuk aksi dan formasi koalisi anti-Jerman pada saat itu untuk mencegah dominasi dari Jerman. Contoh lain adalah dibentuknya gerakan non-blok saat blok barat (Amerika) dan blok timur (Uni Soviet) bersitegang.


Yang menimbulkan kebingungan adalah pada saat masa perang dingin dengan bipolar systemnya menunukan bahwa sebenarnya Amerika dan Unisoviet merupakan hegemon yang kekuatannya melebihi negara-negara lain. Antara Amerika dan Uni Soviet saat itu memiliki perbedaan dalam bidang kekuatan ekonomi. Dalam balance of power seharusnya terjadi keseimbangan kekuatan antar negara-negara di dunia. Teori ini juga memiliki kelemahan yaitu hanya mengukur keseimbangan kekuasaan dunia melalui ukuran kekuatan nasional negara yang lebih fokus pada bidang militer, teritori, populasi dan aliansi. Morgenthau masih memandang kabur persoalan kekuatan ekonomi sebagai faktor utama karena memandang bahwa ekonomi bergantung pada kapabilitas militer.


Kaum merkantilis memberikan ide mengenai politik sebagai pemimpin ekonomi yang akhirnya melahirkan teori tentang “stabilitas hegemoni”. Teori ini juga dimasuki oleh elemen liberal, dengan asumsi bahwa kekuatan dominan (hegemon) tidak hanya memanipulasi hubungan ekonomi internasional bagi dirinya, tetapi juga menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan pada perdagangan bebas yang bermanfaat bagi semua negara yang berpartisipasi dan bukan hanya negara hegemon. Diyakini bahwa kehadiran hegemon pada perekonomian internasional yang bersifat liberal akan mempertahankan perekonomian yang terbuka dan bebas. Tindakan proteksi ekonomi dan membuat kebijakan domestik yang merugikan dunia internasional akan terminimalisir dengan adanya power dari hegemon ini.


Stabilitas hegemoni menciptakan suatu pedagangan liberal yang diperuntukan untuk seluruh kalangan negara. Perekonomian dunia yang liberal dipercaya dapat menciptakan keuntungan bagi semua pihak. Namun, juga tidak terlepas dari adanya free rider yang memanfaatkan kesempatan yang luas dalam perekonomian liberal. Untuk itulah diperlukan adanya hegemon dalam perekonomian liberal untuk mengawasi dan menghukum mereka bila perlu. Hal tersebut pasti akan dilakukan oleh negara hegemon karena ia juga memiliki kepentingan yang besar dalam sistem perekonomian yang ada. Amerika sebagai kekuatan dominan pasca perang dunia kedua mengambil posisi sebagai pemimpin perekonomian dunia dengan mengeluarkan Bretton Woods System pada tahun 1947 yang kemudian memunculkan lembaga-lembaga perekonomian yang penting seperti IMF, Worl Bank, WTO dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu dilakukan oleh Amerika untuk melancarkan kepentingan mereka dalam perekonomian global. Ekonomi mereka anggap sebagai alat untuk mengembangkan pengaruh serta meningkatkan kekuatan politik dan militer. Namun, Amerika juga pernah terjebak dalam jurang ketidakstabilan ekonomi ketika pada awal tahun 1960-an Jepang dan negara-negara di Eropa Barat mulai bangkit kembali perekonomiannya. Hegemoni ekonomi Amerikan mulai diambang batas kejayaan dan terjebak dalam defisit. Kemudian Amerika mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan yang memproteksi ekonomi dalam negeri terlebih dahulu dan mereka mulai bertindak sebagai “hegemon predator” . Amerika menjadi lebih peduli terhadap kepentingan nasionalnya sendiri daripada melaksanakan perannya sebagai warning man dalam perekonomian internasioal yang liberal dan bahkan mulai menyalahgunakan kekuatan serta posisinya untuk mengeksploitasi perekonomian negara lain. Sejak saat itu Amerika sudah dianggap tidak lagi mendomonasi perekonomian internasional sebagai hegemon. Gilpin dalam bukunya, menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi dan pengaru Amerika dalam perekonomian internasional telah menurun drastis. Namun hal tersebut kurang disetujui oleh Strange, Russet dan Nye. Mereka beranggapan bahwa Amerika masih kuat dalam segala bidang seperti ekonomi, militer, SDA, SDM, dan lain sebagainya dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia. Amerika memiliki kemajuan yang sangat baik di bidang teknologi dan juga memiliki aset investasi luar negeri yang sangat besar. Industri jasa serta informasi Amerika sangat menghasilkan, begitu pula dengan industri film, fashion, makanan, yang akhirnya membawa dunia pada budaya Amerika yang kita kenal dengan nama “westernisasi”. Itu juga merupakan salah satu kekuatan ekonomi Amerika yang berkembang cukup signifikan hingga sekarang. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya Amerika hanya salah langkah dalam beberapa hal ketika menggunakan kebijakan proteksi saat krisis di masa lalu. Namun, kekuatan Amerika yang besar masih tersimpan rapi di dalam dan hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengolahnya kembali.


Sources:

Sorensen, George and Robert Jackson. 1999. Introduction to International Relations.

New York: Oxford University Press

Gilpin, Robert. 1987. “The Dynamics of International Political Economy”, dalam the

Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University

Press, pp. 65-117

Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations The Key Concept.

New York: Routledge

Perwita, Anak Agung B dan Yanyan M.Y. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional. Bandung: Rosda



2 komentar:

  1. Best No Deposit Casinos (2021) - GIOGALF.COM
    The Best No Deposit Casinos 해외 사이트 in the USA 벳시티먹튀 · Best Casino Bonuses · Top 안전바카라 10 No 더킹사이트 Deposit Bonuses · $5,000 Bonus · 20 No Deposit Free Spins · 오피주소 20 No Deposit

    BalasHapus
  2. The latest casino bonuses and promos - DrMCD
    Check out the 울산광역 출장안마 latest casino bonuses and promos for the US in 2021. Check 의왕 출장안마 out the latest casino bonuses 춘천 출장마사지 and promos for 안산 출장마사지 the US in 당진 출장안마 2021.

    BalasHapus